Halaman rumah saya bagai hamparan padang beton gersang. Tak ada tanah sedikit pun, hanya lantai semen abu-abu yang dingin dan mati. Setiap hari saya memandang sudut kecil itu dengan sinis, berpikir tak mungkin ada hijau tumbuh di atasnya – seakan berharap bunga tumbuh di atas aspal jalan raya. Istri saya yang gemar menanam bunga hanya tersenyum, menaruh pot-pot di sudut, mencoba menghidupkan yang mati. Namun bagi saya, halaman sempit berlapis semen itu tak ubahnya kuburan bagi tanaman. “Bercocok tanam di sini? Yang benar saja,” batin saya penuh ragu.
Keesokan harinya, dengan semangat baru, saya mulai Proyek Hijau di Beton. Modal saya minim: beberapa botol plastik bekas air mineral, styrofoam bekas, kain flanel, dan tentu saja bibit kangkung. Saya mengikuti panduan sederhana dari video – membuat lubang di tutup botol, memasang sumbu kain, mengisi larutan nutrisi. Rasanya saya seperti ilmuwan gila meramu cairan nutrisi AB Mix. Istri saya menatap geli ketika melihat saya serius mengaduk ember berisi air pupuk, seolah sedang membuat ramuan ajaib. “Jangan-jangan nanti kangkungnya tumbuh jadi raksasa ya,” ia meledek. Saya menanggapi dengan sinis bercanda, “Kalau gagal, paling tidak kita punya sup nutrisi buat diminum,” ucap saya sambil tertawa kecil. Dalam hati, terselip harapan semoga eksperimen ini berhasil dan tidak berakhir memalukan.
Bibit kangkung pun saya semai di potongan rockwool kecil, diletakkan di mulut botol-botol hidroponik sederhana itu. Setiap beberapa jam saya menengok mereka – lebay memang, layaknya orang tua baru mengawasi bayi tidur. Pagi pertama, belum ada tanda-tanda kehidupan. “Sabar, mereka kan bukan mi instan,” saya mengingatkan diri sendiri dengan sindiran halus. Hari kedua, rockwool masih bisu. Godaan untuk mengintip apakah benihnya busuk atau tidak mulai muncul, tapi saya tahan. Saya teringat pepatah lama: “Petani sangat tahu mereka tak bisa memanen jika tak bercocok tanam.” Artinya, tak akan ada panen tanpa kesabaran merawat benih. Jadi saya tahan diri, berusaha sabar seperti pertapa, menunggu tanda hijau kecil itu muncul.
“To plant a garden is to believe in tomorrow.”
– Audrey Hepburn
Benar saja, di hari ketiga, muncullah titik-titik hijau mungil di permukaan rockwool. Sprout! Biji kangkung itu pecah menampakkan dua helai daun lembaganya. Saya hampir saja melonjak seperti mendapat lotre, padahal yang muncul cuma kecambah kecil. Tapi buat saya, itu keajaiban di atas beton. “Hidup, mereka hidup!” seru saya memanggil istri. Istri saya tertawa melihat saya norak kegirangan hanya karena tunas kangkung, seolah baru panen sawah sekampung. Di momen itu saya teringat kata-kata Audrey Hepburn: “To plant a garden is to believe in tomorrow.” Melihat tunas hijau itu, saya benar-benar merasa sedang menggenggam esok yang lebih cerah. Harapan saya tumbuh bersama mereka.
Hari demi hari, kangkung-kangkung hidroponik saya tumbuh subur. Daun-daun hijaunya kian lebar, batangnya menjulur lentur mencari matahari. Personifikasi pun bermain di benak saya: seolah-olah tanaman itu tersenyum dan melambai setiap saya datang menyapa pagi. Ada rutinitas baru yang menyenangkan – bangun tidur bukan lagi langsung cek ponsel, tapi menjenguk “anak-anak hijau” saya di teras. Menyiram tidak perlu karena sistem wick selalu basah, cukup menambah larutan nutrisi jika surut. Kegiatan merawat itu jadi ritual meditatif. Saya perhatikan, stres kerja yang biasanya menghantui tiap pagi perlahan berkurang.
Sekitar empat minggu berlalu, tibalah waktu panen kangkung perdana. Tanaman sudah menjulang sekitar 20-30 cm, hijau segar siap konsumsi. Saya potong dengan gunting, hati-hati seperti hair stylist memangkas rambut pelanggan VIP. Hasilnya lumayan – sebaskom penuh kangkung tanpa pestisida. Di dapur, istri saya langsung menumis kangkung hasil kebun kecil kami dengan bawang putih. Aroma sedap memenuhi rumah. Saat menyantap hasil panen sendiri, rasanya ada citarasa kebanggaan tersendiri. Bukan sekadar kangkung, tapi buah kerja keras.
Usai sukses dengan kangkung, kepercayaan diri saya melejit. Halaman beton sempit ini ternyata bisa jadi kebun mini. Saya pun terdorong untuk meningkatkan tantangan. “Kalau kangkung bisa, kenapa nggak coba yang lain?” pikir saya. Mulailah saya merancang instalasi lebih besar. Saya buat rak susun dari pipa paralon bekas, membeli beberapa netpot murah, dan tentu saja membeli bibit sayuran lain: bayam, pakcoy, sawi hijau, hingga mint.
Namun, alam memberi saya reality check. Ternyata menanam sayur lain tak semudah kangkung yang bandel. Bibit bayam yang saya tebar terlalu rapat tumbuh kering kerontang karena berebut nutrisi – banyak yang mati muda sebelum sempat besar. Pakcoy saya tumbuh, tapi daunnya kriting aneh. Sawi hijau kena hama ulat yang entah datang dari mana. Daun sawi bolong-bolong dimakan ulat, membuat saya gemas campur panik.
Untunglah saya bukan tipe yang mudah menyerah. Ego dan semangat sudah telanjur tinggi – masa mau mundur gara-gara ulat dan daun kuning? Saya pun berburu solusi. Tiap malam saya membaca artikel dan forum, mencari tahu cara mengatasi setiap masalah. Saya temukan fakta menarik yang membesarkan hati: tanaman hidroponik mampu tumbuh 30-50% lebih cepat dibanding di tanah dan menggunakan air hingga 98% lebih efisien.
Beberapa minggu kemudian, saya sudah bisa memetik hasil dari upaya pantang menyerah tadi. Bayam hidroponik pertama saya panen – daunnya lembut dan ranum, enak dibuat sayur bening. Pakcoy sukses dipanen sekitar 45 hari sejak semai. Sawi hijau pun demikian. Bahkan si mint akhirnya tumbuh rimbun; saya petik beberapa lembar, menyeduhnya jadi teh mint hangat yang harum menenangkan.
Selain soal pangan, perubahan gaya hidup kami terasa nyata. Dulu sepulang kerja saya lebih sering mager di sofa, kini saya memilih mengecek tanaman. Secara fisik pun ada efeknya: bercocok tanam ternyata olahraga terselubung. Tanpa sadar saya sering angkat galon air, jongkok-berdiri merawat tanaman – semua itu membakar kalori.
Menariknya lagi, saya sadar bahwa saya tidak sendirian dalam kegemaran baru ini. Tren urban farming memang sedang menjamur belakangan ini. Saya menemukan data bahwa di Jakarta saja pada tahun 2023 terdapat 287 lokasi urban farming teridentifikasi. Generasi Z pun mulai menggandrungi urban farming sebagai bagian dari gaya hidup sehat.
Kini, saat saya berdiri di halaman mungil saya, saya tersenyum memandang transformasi yang telah terjadi. Dulu yang saya lihat hanya lantai semen kosong penuh keputusasaan. Sekarang, rak-rak hidroponik berisi kangkung, bayam, pakcoy, sawi, mint, bahkan beberapa anggrek milik istri, berdiri berdampingan bagai taman mini.
Hijau di Beton mengajarkan saya bahwa di mana ada kemauan di situ ada jalan. Tak ada lahan bukan lagi alasan – kreativitas dan teknologi hidroponik mampu membuka jalan bagi siapa pun untuk bercocok tanam. Jangan pernah meremehkan kekuatan sebuah benih harapan yang ditanam di hati (dan di botol bekas sekalipun).
